Jumat, 30 April 2010

KONTROVERSI UJIAN NASIONAL



Pada penyelenggaraan UAN tahun ajaran 2003/2004, Koalisi Pendidikan menemukan berbagai penyimpangan, dari teknis hingga finansial. Pertama, teknik penyelenggaraan. Perlengkapan ujian tidak disediakan secara memadai. Misalnya, dalam mata pelajaran bahasa Inggris, salah satu kemampuan yang diujikan adalah listening. Supaya bisa menjawab soal dengan baik, peserta ujian memerlukan alat untuk mendengar (tape dan earphone). Pada prakteknya, penyelenggara ujian tidak memiliki persiapan peralatan penunjang yang baik.
Kedua, pengawasan. Dalam penyelenggaraan ujian, pengawasan menjadi bagian penting dalam UAN untuk memastikan tidak terjadinya kecurangan yang dilakukan oleh peserta. Fungsi pengawasan ini diserahkan kepada guru dengan sistem silang--pengawas tidak berasal dari sekolah yang bersangkutan, tapi dari sekolah lain. Tapi, pada kenyataannya, terjadi kerja sama antarguru untuk memudahkan atau memberi peluang siswa menyontek.
Kasus di beberapa sekolah, guru, terutama untuk mata pelajaran yang dibuat secara nasional seperti matematika, bahasa Inggris, atau ekonomi, dengan berbagai modus memberi kunci jawaban kepada siswa. Selain itu, pada tingkat penyelenggara pendidikan daerah seperti dinas pendidikan, usaha untuk menggelembungkan (mark-up) hasil ujian pun terjadi. Caranya dengan membuat tim untuk membetulkan jawaban-jawaban siswa.

Itu tadi sekitar kilas balik dari ujian akhir yang telah beberapa tahun ini dilaksanakan di Indonesia. Dan sekarang ini untuk tahun ajaran 2007/2008 para petinggi pendidikan mengeluarkan sebuah rencana bahwa akan menetapkan 6 mata pelajaran yang akan di UN-kan. Ini merupakn fenomena yang benar – benar memberatkan siswa karena pemerintah telah mengeluarkan kebijakan secara instan. Mungkin karena kebijakan pemerintah ini akan menambah daftar panjang kecurangan maupun penyimpangan dalam Ujian Akhir Nasional.

Sebuah cita-cita keren menurut saya untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia . Dimana pemerintah menginginkan pendidikan di Indonesia bisa seperti negara lain . Saya benar-benar berbangga diri jika yang demikian bisa terwujud. Saya salut dengan pemerintah yang berani mengambil keputusan ini.

Namun , Program pemerintah ini apakah akan berhasil jika tahun ini mulai diterapkan ? Pemerintah tidaklah sendirian dalam perjuangan ini . Dari pemerintah pendidikan pusat sampai siswa adalah semua faktor untuk mendukung upaya ini . Terutama bagi para siswa , merekalah yang sebenarnya sangat berperan dalam upaya ini. dari hasil kelulusan merekalah keberhasilan program ini bisa dilihat.

Mayoritas para siswa sangat keberatan untuk menghadapi Ujian Nasional yang 6 Mata Pelajaran ini. Mereka semua menganggap bahwa Upaya pemerintah untuk meningkatkan kualitas pendidikan dengan meningkatkan standar kelulusan adalah satu cara instan yang salah . Pemerintah terlalu ngotot untuk memberlakukan aturan ini padahal kenyataanya sistim pendidikan di negeri kita ini masih banyak yang perlu diperbaiki.Salah satu kebijakan kontroversial adalah keputusan Mendiknas Nomor 017 Tahun 2003 mengenai Ujian Akhir Nasional (UAN). Kebijakan ini mendapat tantangan dari berbagai kalangan pendidik. Kalangan guru merasa dipotong haknya sebagai penentu kelulusan siswa. Selain itu siswa pun merasa hasil belajar mereka tidak dihargai karena penilaian hanya didasarkan pada nilai UAN. Meski hanya 3 mata pelajaran, tidak seperti Ebtanas yang bisa mencapai 7 mata pelajaran, kebijakan itu tetap saja menuai protes. Apalagi belakangan diketahui bahwa Depdiknas menggunakan tabel konversi untuk mengatrol nilai siswa yang rendah. Banyak yang menilai bahwa kebijakan UAN hanya cara mudah pemerintah untuk meningkatkan mutu pendidikan. Dengan memuat standar nilai kelulusan, diharapkan tidak semua siswa bisa lulus dan mutu lulusan pun meningkat. Padahal dengan kondisi Indonesia yang sangat beragam, tidak mungkin membuat sebuah standar yang sama dari Sabang sampai Merauke.
(Yuli Harti)
Siswa SMK Negeri 1 Samarinda - Kelas III UJP
http://guruvalah.20m.com/kontoversi_ujian_nasional.html

Bahaya Merokok Bagi Siswa/Pelajar


Seperti sudah diketahui perokok pasif adalah mereka yang tidak merokok namun mau tidak mau harus ikut menghisap asap rokok yang dihembuskan orang lain di sekitar mereka. Risiko perokok pasif ini tidak lebih ringan dibandingkan perokok aktif, bahkan sebaliknya kuantitas racun yang terhirup malahan jadi lebih besar dikarenakan asap rokok langsung masuk ke paru-paru tanpa dapat dihembuskan keluar seperti halnya para perokok aktif.

Pada saat ditunjukkan gambar berbagai macam penyakit akibat rokok , kontan seluruh siswa berteriak ngeri. Memang, sebetulnya sungguh mengerikan akibat merokok. Bukan saja tubuh tergerus penyakit, uang pun habis percuma, sementara yang disebut ‘kenikmatan’ adalah semu belaka. Inilah yang harus diketahui para siswa. Bukankah salah satu gerbang menuju narkoba yang paling efektif adalah merokok?

Selain rokok konvensional yang sudah kita kenal selama ini, ternyata ada bentuk lain dari rokok, yaitu shisha. Shisha atau disebut juga Hookah itu sepintas memang tak mirip rokok. Pertama, Shisha sering disajikan di resto dan kafe. Kedua, yang dihisap bukan asap melainkan aroma – terdapat banyak pilihan aroma atau rasa, misalnya buah-buahan atau mint – sehingga banyak juga kaum wanita yang menggemari shisha ini. Namun ternyata shisha tak kalah berbahaya dibandingkan rokok.

Simaklah hasil penelitian yang dirilis dalam Journal of the American Medical Association ini: jumlah Tar dalam 1 gram tembakau rokok adalah 2,96 mg. Sedangkan yang dikandung dalam 1 gram tembakau shisha adalah 802 gram! Kadar Nikotin dan Karbon Monoksida shisha juga tak jauh beda .... berlipat ganda.
Berita baik dari rangkaian ceramah ini: anak-anak cukup mengetahui bahaya rokok, bertekad tidak akan pernah merokok dan berusaha untuk mengingatkan anggota keluarga lain yang masih merokok agar menghentikan kebiasaannya. Namun terselip sebuah berita buruk. Ternyata di antara anak-anak itu tidak sedikit yang sudah mencicipi shisha dikarenakan ketidaktahuan (diajak oleh keluarga, karena menikmati shisha memang umumnya dilakukan beramai-ramai).
from :
http://www.bsmipusat.net/v2/news/bsmi-bahaya-merokok-bagi-siswapelajar

Anak-anak dan Handphone


Dengan semakin murahnya harga handphone dan biaya pulsanya, makin besarlah kemungkinan bagi orang tua untuk membelikan handphone bagi anaknya. Di sekolah tempat saya bekerja dan dari percakapan dengan teman-teman sesama orang tua, tampaknya sudah menjadi hal yang umum bagi orang tua untuk memberikan (atau meminjamkan) handphone kepada anaknya bahkan mulai usia Sekolah Dasar. Alasan utamanya adalah agar anak mudah dihubungi atau menghubungi orang tua jika diperlukan. Dengan bertambah macetnya kondisi lalu lintas dan semakin padatnya jadwal kegiatan anak dan orang tua di zaman sekarang, alasan ini terdengar wajar saja.

Namun, sebelum memberikan handphone bagi putra/putri Anda, cobalah pertimbangkan hal-hal berikut ini:

Pertama, bagaimana peraturan/kebijaksanaan sekolah mengenai penggunaan handphone di lingkungan sekolah? Bila handphone dilarang untuk digunakan selama jam pelajaran, apakah anak kita sanggup mengendalikan dirinya untuk mengikuti aturan ini? Jangan sampai anak (dan orangtuanya) bermasalah dengan pihak sekolah karena anak lupa membuat handphone-nya "silent" selama jam pelajaran.

Kedua, apakah anak sudah cukup ‘dewasa' untuk bertanggung jawab terhadap handphone-nya? Saya sering melihat, anak-anak menggeletakkan handphone-nya di halaman sekolah sementara mereka sedang asyik bermain. Biar bagaimanapun, sekolah adalah tempat umum. Tidak adil rasanya untuk menyalahkan pihak sekolah bila anak kita kehilangan handphone karena mungkin saja anak kita juga tidak hati-hati menjaga handphone-nya.

Ketiga, handphone dengan segala fasilitas SMS, MMS dan kamera bisa digunakan untuk hal-hal yang berbau pornografi. Anak-anak tingkat Sekolah Dasar mungkin baru sebatas bertukar SMS berisi teka-teki atau cerita humor. Anak-anak SMP dan SMA bisa saja saling berkirim gambar porno. Bahkan jika anak yang bersangkutan tidak memintanya, ia pun bisa dikirimi gambar-gambar porno dari sumber yang tidak ia kenal.

Keempat, meskipun orang tua mampu membelikan handphone model tercanggih dan termahal, sebaiknya orangtua bijaksana dalam menentukan model handphone bagi anaknya. "Gengsi" dan popularitas anak di sekolah hendaknya dilihat dari prestasinya, bukan dari handphone-nya.

Saya pribadi ingin selama mungkin menunda memberikan handphone bagi kedua anak saya...saat ini duduk di kelas 1 dan 2 Sekolah Dasar meskipun saya sadar, karena pergaulan, tak lama lagi mereka akan mulai "merasa" membutuhkannya. Bagaimana dengan Anda?

Bahaya Industri Logam dan Elektronika


Bahaya Industri Logam & Ekektronika Bagi Manusia dan Lingkungan

Bahan buangan yang dihasilkan dari industr besi baja seperti mesin bubut, cor logam dapat menimbulkan pemcemaran lingkungan. Sebagian besar bahan pencemarannya berupa debu, asap dan gas yang mengotori udarasekitarnya. Selain pencemaran udara oleh bahan buangan, kebisingan yang ditimbulkan mesin dalam industri baja (logam) mengganggu ketenangan sekitarnya. kadar bahan pencemar yang tinggi dan tingkat kebisingan yang berlebihan dapat mengganggu kesehatan manusia baik yang bekerja dalam pabrik maupun masyarakat sekitar.
Walaupun industri baja/logam tidak menggunakan larutan kimia, tetapi industri ini memcemari air karena buanganya dapat mengandung minyak pelumas dan asam-asam yang berasal dari proses pickling untukmembersihkan bahan plat, sedangkan bahan buangan padat dapat dimanfaatkan kembali.
Bahaya dari bahan-bahan pencemar yang mungkin dihaslkan dari proses-proses dalam industri besi-baja/logam terhadap kesehatan yaitu :
  1. Debu, dapat menyebabkan iritasi, sesak nafas
  2. Kebisingan, mengganggu pendengaran, menyempitkan pembuluh darah, ketegangan otot, menurunya kewaspadaan, kosentrasi pemikiran dan efisiensi kerja.
  3. Karbon Monoksida (CO), dapat menyebabkan gangguan serius, yang diawali dengan napas pendek dan sakit kepala, berat, pusing-pusing pikiran kacau dan melemahkan penglihatan dan pendengaran. Bila keracunan berat, dapat mengakibatkan pingsan yang bisa diikuti dengan kematian.
  4. Karbon Dioksida (CO2), dapat mengakibatkan sesak nafas, kemudian sakit kepala, pusing-pusing, nafas pendek, otot lemah, mengantuk dan telinganya berdenging.
  5. Belerang Dioksida (SO2), pada konsentrasi 6-12 ppm dapat menyebabkan iritasi pada hidung dan tenggorokan, peradangan lensa mata (pada konsentrasi 20 ppm), pembengkakan paru-paru/celah suara.
  6. Minyak pelumas, buangan dapat menghambat proses oksidasi biologi dari sistem lingkungan, bila bahan pencemar dialirkan keseungai, kolam atau sawah dan sebagainya.
  7. Asap, dapat mengganggu pernafasan, menghalangi pandangan, dan bila tercampur dengan gas CO2, SO2, maka akan memberikan pengaruh yang nenbahayakan seperti yang telah diuraikan diatas.

Budaya Korupsi


Kata korupsi sudah sangat melekat di benak kita. Mendengar kata tersebut secara otomatis menimbulkan konotasi atau pemahaman yang negatif di pikiran kita. Korupsi berasal dari bahasa latin yaitu ‘corruptio’. Kata ini berasal dari kata kerja ‘corrumpere’ yang artinya busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok.

Transparency International menerjemahkan korupsi sebagai bentuk perilaku atau tingkah laku dari pejabat publik, politikus atau politisi, pegawai negeri sipil yang dilakukan secara tidak wajar atau illegal dengan tujuan untuk memperkaya diri atau orang-orang yang dekat dengan mereka, dengan cara menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka 1.

Penyebab terjadinya korupsi karena (1) kekuasaan terkonsentrasi pada pengambil keputusan yang tidak bertanggung jawab langsung kepada rakyat , seperti yang sering terlihat di rezim-rezim yang bukan demokratik; (2) tidak adanya transparansi di pengambilan keputusan pemerintah; (3) biaya politik yang mahal, dengan pengeluaran lebih besar dari pendanaan politik yang normal; (4) proyek yang melibatkan uang rakyat dalam jumlah besar; (5) lingkungan tertutup yang mementingkan diri sendiri dan jaringan "teman lama"; (6) lemahnya ketertiban hukum; (7) lemahnya profesi hukum; (8) kurangnya kebebasan berpendapat atau kebebasan media massa; (9) gaji pegawai pemerintah yang sangat kecil; (10) rakyat yang cuek, tidak tertarik, atau mudah dibohongi yang gagal memberikan perhatian yang cukup ke pemilihan umum; (11) ketidakadaannya kontrol yang cukup untuk mencegah penyuapan atau "sumbangan kampanye". 2

Beberapa jenis tindak pidana korupsi antara lain : (1) memberi atau menerima hadiah atau janji (penyuapan); (2) penggelapan dalam jabatan; (3) pemerasan dalam jabatan; (4) ikut serta dalam pengadaan (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara); (5) menerima gratifikasi (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara). 3

Tindak pidana korupsi seperti yang telah disebutkan di atas sangat rentan terjadi di jajaran pemerintahan (birokrasi) dan legislatif. Mulai dari level atas sampai dengan bawah memberikan peluang terjadinya korupsi. Apalagi pasca reformasi, merebaknya kebijakan otonomi daerah memberikan peluang kepada daerah-daerah untuk memisahkan diri dari pusat dan membentuk wilayah baru dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Bila dilihat dari sisi positifnya, kebijakan tersebut memberikan kesempatan kepada daerah untuk mengelola daerahnya sendiri dan mendapatkan hasil dari sumber daya yang ada (sumber daya manusia dan sumber daya alam), memperluas kesempatan kerja dengan adanya instansi-instansi pemerintahan maupun swasta, memberikan peluang dunia usaha baru bagi masyarakat daerah. Kesemuanya itu bertujuan untuk meningkatkan perekonomian daerah.

Namun sisi negatifnya, apabila daerah tidak mampu membiayai sendiri daerahnya malahan membebani APBN. Peluang terciptanya raja-raja kecil justru merugikan masyarakatnya sendiri. Kapasitas sdm yang belum memadai menjadi beban bagi daerah karena kekurangan tenaga ahli. Ditambah lagi dengan pilkada (pemilihan kepala daerah) yang terus-menerus terjadi hampir di seluruh Indonesia semakin membebani APBN. Disini justru peluang terjadinya korupsi semakin besar.

Korupsi di Indonesia telah merajalela terutama sejak kemimpinan Soeharto. Budaya korupsi yang telah mendarah daging selama lebih dari 30 (tiga puluh) tahun ternyata tidak mudah diberantas seperti membalikkan telapak tangan. Penyalahgunaan kekuasaan semasa kepemimpinan Soeharto mengakibatkan terjadinya korupsi di jajaran pemerintahan mulai dari level atas sampai dengan bawah.

Terjadinya gerakan reformasi pada tahun 1998, merupakan suatu bentuk aksi protes masyarakat yang diwakili mahasiswa untuk menjatuhkan rezim orde baru yang terkenal sarat dengan KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme). Namun, sayangnya pasca reformasi upaya ini masih belum berhasil. Karena semakin banyaknya kasus korupsi yang terjadi di jajaran pemerintahan (eksekutif) dan DPR/DPRD (legislatif).

Upaya untuk mengungkap kasus korupsi ini masih belum sepenuhnya dilakukan. Terbukti masih banyak kasus-kasus lama --salah satunya kasus mantan presiden Soeharto yang tidak dapat dituntaskan sampai dengan meninggalnya-- yang belum selesai ditambah lagi kasus-kasus baru yang belum tertangani.

Proses pergantian kepemimpinan sebanyak empat kali pasca reformasi 1998, mulai dari BJ. Habibie, Gus Dur, Megawati, dan SBY belum mampu mengatasi persoalan korupsi ini. Perilaku korupsi yang sulit diberantas ini mulai dari jajaran atas sampai dengan jajaran bawah di pemerintahan, baik secara terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi bagaikan ‘lingkaran setan’ yang tidak ada ujungnya.

Korupsi yang telah terjadi dan menumpuk-numpuk ini menempatkan Indonesia menjadi negara terkorup dengan urutan 130 dari 163 negara pada tahun 2006 4. Kondisi ini sungguh memprihatinkan karena korupsi yang terjadi menyebabkan kemiskinan dan pengangguran semakin bertambah. Cita-cita kemerdekaan untuk “menciptakan kesejahteraan masyarakat Indonesia yang adil dan merata”, hanya merupakan slogan kosong tanpa makna. Hal ini terjadi karena perilaku dari aparat pemerintahan sendiri. Maka dengan ini dibutuhkan kesadaran bersama antara pemerintah/aparat dan masyarakat untuk saling mengawasi, melaporkan dan menindak perilaku korup ini. (Nyimas L. Letty A.)

Endnote:
1. Sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Korupsi, diakses tanggal 5 Januari 2009.
2. Ibid.
3. Ibid.
4. Sumber : Transparency International Indonesia.